Rabu, 08 April 2015

Kebudayaan Asli Masyarakat Kota Manado



  Kebudayaan lama dan asli yang dibanggakan oleh masyarakat Kota Manado, yaitu :

  • ·         Mapalus

Mapalus adalah bentuk gotong royong tradisional warisan nenek moyang orang Minahasa di Kota Manado yang merupakan suatu sistem prosedur, metode atau tehnik kerja sama untuk kepentingan bersama oleh masing-masing anggota secara bergiliran. Mapalus muncul atas dasar kesadaran akan adanya kebersamaan, keterbatasan akan kemampuannya baik cara berpikir, berkarya, dan lain sebagainya.

  • ·         Rumah Panggung

Rumah panggung atau wale merupakan tempat kediaman para anggota rumah tangga orang Minahasa di Kota Manado, dimana didalamnya digunakan sebagai tempat melakukan berbagai aktivitas. Rumah panggung jaman dahulu dimaksudkan untuk menghindari serangan musuh secara mendadak atau serangan binatang buas. Sekalipun keadaan sekarang tidak sama lagi dengan keadaan dahulu, tapi masih banyak penduduk yang membangun rumah panggung berdasarkan konstruksi rumah modern.

  • ·         Pengucapan Syukur

Pada masa lalu pengucapan syukur diadakan untuk menyampaikan doa atau mantra yang memuji kebesaran dan kekuasaan para dewa atas berkat yang diberikan sambil menari dan menyanyikan lagu pujian dengan syair yang mengagungkan. Saat ini pengucapan syukur di Kota Manado dilaksanakan dalam bentuk ibadah di gereja. Pada hari H tersebut setiap rumah tangga menyiapkan makanan dan kue untuk dimakan oleh anggota rumah tangga, juga dipersiapkan bagi para tamu yang datang berkunjung.

  • ·         Tari Kabasaran

Tari kabasaran sering juga disebut tari cakalele, adalah salah satu seni tari tradisional orang Minahasa yang banyak dimainkan oleh masyarakat Kota Manado, yang biasanya ditampilkan pada acara-acara tertentu seperti menyambut tamu dan pagelaran seni budaya. Tari ini menirukan perilaku dari para leluhur dan merupakan seni tari perang melawan musuh.


  • ·         Tari Maengket

Tari maengket adalah salah satu seni tarian rakyat orang Minahasa di Kota Manado yang merupakan tari tontonan rakyat. Tarian ini disertai dengan nyanyian dan diiringi gendang atau tambur yang biasanya dilakukan sesudah panen padi sebagai ucapan syukur kepada Sang Pencipta. Saat ini tari maengkat telah berkembang dalam masyarakat membentuk tumpukan-tumpukan dengan kreasi baru.


  • ·         Musik Kolintang

Musik kolintang pada awalnya dibuat dari bahan yang disebut wunut dari jenis kayu yang disebut belar. Pada perkembangan selanjutnya, kolintang mulai menggunakan bahan kayu telor dan cempaka. Orkes kolintang sebagai produk seni musik tradisional bukan saja sebagai sarana hiburan, akan tetapi juga sebagai media penerapan pendidikan musik yang dimulai dari anak-anak sekolah di Kota Manado.

  • ·         Musik Tiup Bambu

Musik tradisional ini berasal dari kepulauan Sangihe Talaud yang diciptakan oleh seorang petani pada tahun 1700. Pada awalnya musik bambu hanya merupakan alat penghibur bagi masyarakat petani setelah seharian melakukan aktivitas sebagai petani yang biasanya dibunyikan setelah selesai makan malam. Dewasa ini di Kota Manado, musik bambu telah menjadi salah satu jenis musik yang sering digunakan pada acara-acara tertentu agar menjadi lebih semarak dan bergengsi.


  • ·         Musik Bia

Bia adalah sejenis kerang atau keong yang hidup dilaut. Sekitar tahun 1941 seorang penduduk Desa Batu Minahasa Utara menjadikan kerang/keong sebagai satu tumpukan musik. Musik bia akhirnya telah menjadi salah satu seni musik tradisional yang turut memberikan nilai tambah bagi masyarakat Kota Manado. Dengan hadirnya musik ini pada pagelaran kesenian dan acara tertentu, telah menimbulkan daya tarik tersendiri bagi wisatawan baik mancanegara maupun nusantara.


DI DALAM BUDAYA ORANG MANADO TERDAPAT JUGA BUDAYA YANG MENGHAMBAT KEMAJUAN TUJUAN SERTA CITA CITA

1. Budaya Sei ko (Artinya: Siapa sih Kamu!)
Ini adalah suatu sikap pandang enteng atau meremehkan orang lain. Orang Manado selalu kalau ketemu orang yang lebih dari dia akan bilang begini, ”Siapa so dia?” Padahal Alkitab mengajarkan untuk kita menjadi orang yang rendah hati. Artinya mau belajar dari siapapun bahkan dari orang yang paling muda sekalipun. Budaya yang meremehkan orang lain seperti itu membuat orang Manado tidak mau belajar dari orang lain.

2. Budaya baku patah kaki atau Cakalele“
Kalo dong (baca: Dia Orang) jual torang (Baca: kita orang) beli.” Begitu kata orang Manado ketika emosi lagi memuncak bahkan ketika melihat kehebatan orang lain. Ini membuat orang Manado saling berkelahi satu dengan yang lain dan tidak memakai istilah bersatu kita teguh bercerai kita runtuh. Hal ini terlihat dari kurangnya kekerabatan dan persahabatan diantara sesama orang Manado baik di Manado sendiri maupun di perantauan.

3. Budaya jual kobong
Karena tidak adanya penghasilan tetap sementara kebutuhan hidup meningkat maka Orang Manado memilih menjual kobongnya (Baca: Ladangnya) disbanding mengusahakan dan menggarapnya dengan menanam tanaman produktif. Ini membuat harta orang Manado menjadi sirna dan lebih parah lagi jatuh ke tangan tuan tanah yang bukan asli orang Manado. Sehingga bias-bisa mereka menjadi petani penggarap saja ditanah airnya sendiri.

4. Budaya Lebih Baik Kalah Aksi Daripada Kalah Nasi
Budaya ini membuat orang Manado menjadi boros untuk hal-hal sekunder dan melalaikan hal yang primer. Orang Manado membeli baju, sepatu bahkan perhiasan serta handphone baru padahal rumahnya sudah hampir roboh. Apalagi kalau natalan atau pengucapan syukur di dalam rumah diusahakan memiliki banyak makanan mewah dan minuman hebat padahal hasil hutang dimana-mana. Maka orang Manado hidup dari gali lubang tutup lubang. Bagaimana bisa mengharapkan kemajuan dengan sikap seperti ini.

5. Budaya Hidup Senang
Karena tanah Manado dan Minahasa yang subur, maka orang Manado terbiasa hidup enak dan senang tanpa perlu kerja keras. Maka tak heran banyak orang Manado yang tidak tahan harus banting tulang di rantau. Mereka tidak mau kerja keras tapi maunya hidup senang terus. Sehingga tidak heran banyak yang rela menjual diri untuk uang yang banyak karena hal ini. Mereka juga tidak mau sekolah hingga mendapat ilmu yang tinggi supaya dapat pekerjaan yang layak. Mereka sudah puas dengan keadaan mereka. Tidak mau berubah. Lantas ketika ada orang yang dating membawa perubahan kembali lagi mereka meremehkan dan mengatakan, “Sei sia” atau Sei ko (Baca: Siapa sih dia)

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar